Jumat, 06 April 2012

PUASA




Landasan-landasan hukum puasa:
  1. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS.Al-Baqarah: 183). 
  2. “Maka barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu (Ramadhan), hendaklah ia berpuasa” (QS. Al Baqarah:185)
  3. Dari Abu Abdul Rahman Abdullah ibnu Umar Ibn al-Khatthab ra berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). 
 Bagaimana memulai puasa Ramadhan?
Puasa Ramadhan dapat dimulai dengan beberapa hal; 1. Jika bulan Sya’ban sudah sempurna 30 hari, 2. Jika Hilal (anak bulan) tanggal 1 Ramadhan sudah terlihat, 3. Informasi yang didapat dari orang (lembaga) yang terpercaya, 4. Dengan Ijtihad, mengerahkan kemampuan sendiri jika semua hal di atas tidak mampu didapatkan (meskipun di era kecanggihan informasi seperti sekarang ini, hampir tidak ada peluang untuk mencari-cari sendiri permulaan Ramadhan).

Apa syarat seseorang bisa melakukan puasa Ramadhan?
Sebelum berpuasa harus diartikan bahwa orang tersebut memenuhi syarat berikut: Beragama Islam, berakal sehat dan mampu membedakan yang baik dengan yang tidak baik, bagi wanita harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas.
Apa syarat wajib berpuasa bagi seorang muslim yang sehat jasmani dan rohani?
Seorang Muslim diwajibkan berpuasa apabila sudah baligh (memasuki usia 15 tahun, atau jika ada tanda-tanda baligh yang lain, seperti menstruasi atau mimpi basah). Sebelum usia baligh puasa belum diwajibkan, namun orang tua seyogyanya melatih putra-putrinya berpuasa semenjak dini.
Apa rukun-rukun puasa?
Rukun puasa ada 2, yaitu:
  1. Berniat untuk puasa pada malamnya,
  2. Menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa (makan, minum dan berhubungan badan atau sejenisnya), mulai Shubuh sehingga Maghrib.
Apa yang membatalkan puasa?
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah:
  1. Makan dan minum dan yang sejenisnya (termasuk infus untuk memasukkan zat makanan), 
  2. Bersetubuh, 
  3. Keluarnya air mani dengan sebab selain bersetubuh kecuali jika terjadi saat mimpi, 
  4. Muntah dengan disengaja, 
  5. Keluar darah haidh atau nifas (darah bersalin) atau 
  6. Hilang ingatan (gila).
Siapa yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan apa konsekuensinya?
Orang-orang yang mendapatkan keringanan meninggalkan puasa adalah sebagai berikut
  1. Orang yang sakit yang jika berpuasa membahayakan kesehatannya, konsekuensinya, wajib mengganti puasanya jika sudah sembuh, tapi jika penyakitnya tidak mungkin ada harapan sembuh maka cukup membayar fidyah, yaitu dengan bersedekah kepada fakir miskin sebesar ¾ liter tiap hari sesuai dengan hari puasa yang ditinggalkan.
  2. Orang yang dalam perjalanan jauh (kurang lebih 84 km setara dengan perjalanan kaki sehari semalam) diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan jika tidak berpuasa konsekuensinya wajib mengqadha (mengganti pada hari yang lain).
  3. Orang yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, orang yang fisiknya memang lemah atau orang yang mengidap penyakit yang menghalangi berpuasa dan menurut analisa dokter ahli penyakit tersebut tidak ada harapan disembuhjkan, konsekuensinya wajib membayar fidyah.
  4. Orang yang mengandung atau menyusui bayinya, ada beberapa kondisi: Pertama, jika memang kondisinya kuat maka wajib berpuasa. Kedua, kondisinya lemah dan akan membahayakan dirinya jika berpuasa, maka tidak boleh berpuasa. Ketiga, jika dirinya mampu berpuasa, namun jika ia berpuasa akan membahayakan janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka syari’ah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa, sebab janin dan bayi adalah bagian tak terpisahkan dari ibunya. Para ulama dalam menentukan konsekuensi kondisi kedua dan ketiga mengambil jalan qiyas (analogi) dengan orang yang sakit, sebab orang yang sedang mengandung dan orang yang sedang menyusui mirip dengan kondisi orang yang sakit, maka konsekuensinya wajib mengqadha, dan pemilihan hukum ini disetujui oleh jumhur (mayoritas) ulama, sebab hukum asalnya semua orang diwajibkan berpuasa, adapun keringanan untuk tidak berpuasa sama sekali hanya diberikan untuk orang yang sudah lanjut usia dan orang yang sakit parah yang tidak mungkin sembuh dan orang yang dalam perjalanan jauh. Adapun kondisi ketiga, konsekuensinya adalah wajib mengqadha, dan juga ada ulama’ yang menambahkan dengan fidyah dengan dasar hukum di dalam riwayat Abu Dawud dan juga dalil qiyas syabah.
Dari sekian banyak analisa ulama’, mayoritas menyamakan kondisi wanita hamil dan menyusui dengan kondisi orang yang sakit, dan metode ini dinamakan qiyas (analogi), dan di dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 184 disebutkan: “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
 Namun demikian ada juga atsar dari Abdullah ibnu Umar dan Abdullah Ibnu Abbas ra yang menetapkan bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika tidak mampu berpuasa cukup membayar fidyah saja, dan juga atas dasar qiyas kondisi wanita hamil dan menyusui dengan kondisi orang yang tidak kuat puasa seperti orang yang lanjut usia, meskipun demikian penetepan hukum ini tidak banyak diiukuti oleh para ulama sebab banyaknya dalil-dalil lain dan juga dalil qiyas yang lebih melihat bahwa kondisi kehamilan dan menyusui hanyalah kondisi temporer saja dalam kehidupan kaum wanita, sehingga lebih mirip dengan kondisi orang yang sakit.
Mengenai meninggalkan puasa karena udzur kehamilan dan menyusui tentu saja yang mengetahui dengan baik antara tingkat bahaya dan tidaknya puasa terhadap ibu yang mengandung dan menyusui adalah dokter spesialis kandungan dan dokter anak, jadi sebelum memutuskan hukum berpuasa atau tidak, tentu konsultasi kepada pakar dan dokter ahli adalah keniscayaan.
Demikian halnya dengan pemilihan konsukuensi hukum bagi wanita hamil dan menyusui, antara mengqadha saja, mengqadha dan membayar fidyah, atau membayar fidyah saja, pemilihan hukum ini tidak boleh didasarkan pada rasa suka dan tidak suka, yang mudah dan tidak mudah; sebab jika demikian akan termasuk menjadikan hawa nafsu sebagai dasar hukum. Menghadapi permasalahan agama sama dengan seseorang yang menghadapi masalah kesehatan, meskipun obat-obatan sudah dijual bebas di pasaran, tidak boleh kemudian orang tersebut memilih-milih obat sendiri dan meramu sendiri tanpa ada resep dokter ahli. Demikian juga dengan fatwa agama, bagi yang merasa belum mampu menggali sendiri dalil agama dari sumbernya, akan lebih realistis dan lebih bertanggung jawab jika konsultasi dan diskusi terlebih dahulu dengan ahli dan pakar dibidangnya.
Bagi yang akan mengqadha, maka qadha puasa wajib disegerakan, sebab tidak ada yang mengetahui batas akhir usia seseorang, meskipun begitu jangka waktu untuk mengqadha masih terbuka sehingga Ramadhan yang akan datang.
Bagaimana jika ada yang puasanya batal?
Jika batal karena makan dan minum, maka diwajibkan mengqadha (mengganti) puasa pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Akan tetapi jika batalnya dikarenakan berhubungan badan, maka harus membayar kaffarat (sangsi/denda), dengan berpuasa 2 bulan berturut-turut dan jika tidak mampu berpuasa maka wajib memberikan sedekah kepada 60 fakir miskin.
Bagaimana jika seseorang pada malam harinya berhubungan atau mimpi basah dan sampai Shubuh belum mandi janabat, bagaimana puasanya?
Seyogyanya orang tersebut segera mandi sebelum Shubuh, agar dapat menunaikan ibadah shalat Shubuh berjamaah, namun jika sampai setelah Shubuh masih belum mandi maka puasanya tetap sah.
Apa yang disunnahkan dalam berpuasa?
Hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa adalah:
  1. Makan Sahur menjelang Shubuh, adapun pengumuman Imsak hanyalah peringatan keras agar berhati-hati jangan sampai masih makan sahur padahal Shubuh sudah masuk, 
  2. Segera berbuka jika matahari sudah tenggelam (Maghrib), 
  3. Berbuka dengan ruthab (kurma segar), kurma biasa dan kalau tidak ada maka berbuka puasa dimulai dengan minum air, 
  4. Berdo’a sewaktu berbuka, sebab do’a pada waktu berbuka termasuk do’a yang mustajab, 
  5. Memberi makan untuk berbuka puasa bagi orang yang sedang berpuasa, 
  6. Memperbanyak sedekah, 
  7. Memperbanyak membaca al-Qur’an, 
  8. Shalat Tarawih, 
  9. I’tikaf.
Selain puasa Ramadhan, adakah puasa lain yang wajib?
Puasa yang diwajibkan dalam Islam hanyalah puasa Ramadhan, kecuali jika seseorang bernadzar untuk berpuasa, maka puasa memenuhi nadzar tersebut menjadi wajib. Di samping itu juga ada puasa-puasa lain yang wajib dilakukan jika seseorang melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu, misalnya melanggar sumpah, membatalkan nadzar, dan lain-lain.
Apa saja puasa-puasa sunnah selain Ramadhan?
Puasa-puasa sunnah selain Ramadhan adalah sebagai berikut:
  1. Puasa 6 hari di bulan Syawwal, 
  2. Puasa hari ‘Arafah (tanggal 9 bulan Dzul Hijjah), kecuali bagi orang yang sedang haji, maka puasa ‘Arafah tidak disunnahkan, 
  3. Puasa ‘Asyura (Tanggal 10 Bulan Muharram), 
  4. Puasa Tasu’a (Tanggal 9 bulan Muharram), 
  5. Puasa Hari Senin dan Kamis, 
  6. Memperbanyak berpuasa pada bulan Sya’ban, 
  7. Puasa tengah bulan Hijriyah (tanggal 13, 14 dan 15).

Shalat Tarawih
Apa perbedaan Qiyamullail, shalat Tahajjud dan Shalat Tarawih?
“Lail” artinya malam, dalam syari’at Islam yang dinamakan malam adalah apabila matahari sudah tenggelam (Maghrib) sehingga adzan Shubuh. Dan istilah Qiyamullail adalah istilah yang digunakan untuk semua shalat sunnah yang dilakukan setelah Shalat Maghrib sehingga Shubuh, semua shalat-shalat sunnah yang dilakukan pada waktu malam, baik shalat witir, shalat tahajjud, shalat hajat, shalat taubat, shalat tarawih dan shalat-shalat sunnah lainnya dinamakan Qiyamullail.
Sedang Tahajjud berasal dari kata “Hujud” atau “Hajdah” yang berarti “tidur” atau “bangun dari tidur”, kata ini dalam bahasa Arab termsuk kata yang mempunyai dua arti yang berlawanan, oleh karenanya shalat Tahajjud adalah shalat malam yang dilakukan pada waktu orang-orang sedang lelap tidur, dan juga meliputi shalat yang dilakukan pada waktu seseorang bangun dari tidur, shalat Tahajjud dapat berarti kedua-duanya. Dari sini maka untuk shalat Tahajjud ada yang mensyaratkan tidur terlebih dahulu dan ada pula yang memahami shalat tahajjud sudah memenuhi syarat jika orang-orang sudah waktunya tidur.
Sedangkan shalat Tarawih adalah Qiyamullail yang khusus pada bulan Ramadhan, dan istilah ini muncul disebabkan orang-orang pada masa dulu mendirikan qiyamullail pada malam bulan Ramadhan dengan sangat lama, sehingga setiap jeda dengan salam mereka beristirahat terlebih dahulu kemudian setelah segar kembali melakukan shalat lagi. Karena shalat ini selalu diselingi dengan istirahat yang agak lama, maka disebutlah dengan shalat “Tarawih” yang artinya istirahat.
Berapakah bilangan rakaat shalat Tarawih?
Masalah ini selalu menjadi bahan pertanyaan setiap bulan Ramadahn tiba. Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama sebenarnya tidak begitu mempermasalahkan tentang jumlah rakaat shalat Tarawih.
Oleh karenanya seharusnya umat Islam juga bersikap lapang dada mengamati beragamnya jumlah rakaat shalat tarawih, yang seharusnya diprioritaskan adalah saling menasihati antar sesama muslim agar dapat menghayati bahwa bulan Ramadhan adalah bulan untuk taubat, bulan untuk istighfar, bulan untuk menjalin dan mempererat persaudaraan dan memperbanyak ketaatan. Dan Ramadhan bukanlah bulan untuk mempertajam pertikaian dan memperbanyak perdebatan dan permusuhan antar sesama muslim.
Sebelum membahas tentang berapa jumlah rakaat shalat tarawih, lebih baik menyimak terlebih dahulu riwayat-riwayat hadits tentang shalat malam di bulan Ramadhan.
Di dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan oleh ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak pernah menambah baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan dari 11 dan di riwayat lain disebutkan 13 rakaat, ‘Aisyah menekankan, “Jangan kamu tanya tentang bagus dan lamanya rakaat-rakaat tersebut. Dengan mendasarkan pada hadits ini, maka ada orang yang shalat tarawih dengan 8 rakaat.
Dalam riwayat lain, sebagaimana disebutkan oleh Imam Malik di dalam kitab al-Muwattha’, dari hadits as-Saib bin Yazid yang menerangkan bahwa orang-orang pada zaman Umar bin al-Khattab menunaikan shalat malam sebanyak 20 rakaat, mereka membaca surat-surat al-mi’in (surat-surat al-Qur’an yang jumlah ayatnya seratusan), dan pada zaman Utsman bahkan orang-orang bertahan dengan tongkatnya karena lamanya berdiri”. Hadits ini sanadnya shahih, demikian Imam an-Nawawi menyatakan di dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab. Dengan mendasarkan pada hadits ini, maka ada orang yang shalat tarawih dengan 20 rakaat.
Namun, sekali lagi perlu ditekankan bahwa pelaksanaan shalat malam, baik yang shalat 8 rakaat maupun yang 20, ada sesuatu yang diprioritaskan dalam keduanya, yaitu shalat yang bagus dan lama. Sebagaimana penekanan di dalam hadits ‘Aisyah dan keterangan di dalam hadits as-Saib bin Yazid yang tersebut di atas. Sehingga jangan sampai seseorang terpancing dengan perdebatan jumlah, namun melupakan kualitas shalatnya.
Bahkan, ada juga yang shalat malam di bulan Ramadhan lebih dari jumlah di atas, mereka mendasarkannya pada dalil tentang sunnahnya memperbanyak amal ibadah pada bulan Ramadhan. Sebagaimana pesan Nabi saw kepada Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami yang meminta kepada Nabi saw agar dapat berteman kelak di surga, maka Nabi saw memberikan saran kepadanya: “Tolonglah aku (agar permintaanmu terkabul) dengan kamu perbanyak sujud (shalat), sebab tidaklah kamu sujud satu kali saja melainkan Allah akan mengangkat derajatmu, dan menghapuskan kesalahanmu” (HR. Muslim).
Juga ada dalil umum, bahwa Nabi saw menyatakan, “Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat, jika salah satu dari kamu semua takut Shubuh datang, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir dari shalat yang telah kamu dirikan” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan mendasarkan riwayat-riwayat yang tidak membatasi jumlah ini, maka sejarah mencatat bahwa di masjid Nabawi pada zaman Imam Malik dan Imam Syafi’i, orang-orang shalat tarawih sebanyak 36 rakaat.
Oleh karena itu tidak ada perlunya saling menyalahkan dalam hal jumlah rakaat shalat tarawih, justru yang perlu ditekankan adalah kualitas shalat tarawihnya. Sudahkah seseorang mampu shalat dengan khusyu’ dengan menjalankan shalat yang sebagus mungkin dan dalam waktu yang lama?
Kalau orang sudah shalat witir bolehkah shalat Qiyamullail lagi?
Sebagian masyarakat ada yang salah mendefinisikan shalat witir, shalat witir dipahami sebagai shalat penutup yang tidak boleh ada lagi shalat sunnah setelah witir sehingga Shubuh. Sebenarnya shalat witir bukanlah shalat penutup, akan tetapi memang ada seruan dari Nabi saw yang menganjurkan agar seyogyanya menjadikan shalat witir sebagai shalat yang paling akhir di malam hari (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata “witir” artinya ganjil, dan shalat witir artinya shalat sunnah yang dilakukan mulai setelah shalat ‘Isya’ sehingga menjelang Shubuh dengan jumlah bilangan rakaat ganjil. Waktu pelaksanannya yang paling afdhal adalah di akhir malam setelah selesai melakukan qiyamullail.
Bagi yang sudah melakukan shalat witir, lalu ingin mengerjakan shalat malam lagi, maka ada hadits yang menyatakan, “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam”. (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Turmudzi). Jadi Shalat witir hanya boleh dilakukan sekali saja dalam satu malam. Oleh karenanya bagi yang yakin mampu untuk menjalankan witir di akhir malam tentu ini lebih afdhal, akan tetapi jika di awal malamnya sudah shalat witir dan di malam hari ingin shalat lagi, maka shalat malam, qiyamullail dan tahajjud tetap berjalan seperti biasa, hanya saja tidak boleh diakhiri dengan shalat witir, sebab witir sudah dilakukan di awal malam.
Bagaimana agar seseorang dapat mendapatkan Lailatul Qadar?
Allah swt merahasiakan ketentuan waktu Lailatul Qadar, satu malam yang paling utama dalam satu tahun, yang setara dengan seribu bulan. Perahasiaan tersebut tentu ada hikmah yang besar, sehingga setiap muslim diharapkan akan senantiasa bersungguh-sungguh beribadah dari semenjak awal Ramadhan sampai akhir Ramadhan. Namun demikian, dari hadits-hadits Nabi saw didapati bahwa jika seseorang berkeinginan untuk mendapatkan Lailatul Qadar maka hendaklah mencarinya di sepuluh malam terakhir, dan ada ketentuan lebih khusus lagi yaitu pada malam-malam ganjil (malam 21, 23, 25, 27 dan 29). Adapun do’a yang dibaca jika mendapatkan malam tersebut adalah seperti yang ditanyakan oleh ‘Aisyah, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui waktu lailatul Qadar, apakah yang mesti aku ucapkan pada saat itu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu’anni (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha pemberi ampunan yang mulia, suka memberi pengampunan, maka ampunilah diriku ini)”. (HR. Turmudzi).
Apa yang dimaksud dengan I’tikaf?
I’tikaf dalam bahasa artinya “menahan” atau “melarang”, adapun dalam istilah syari’ah I’tikaf adalah menahan diri untuk diam dan tinggal di masjid untuk beribadah, dan bertahan untuk tidak keluar dari masjid kecuali untuk urusan yang darurat. Rasulullah saw sendiri senantiasa beri'tikaf pada akhir bulan Ramadhan selama 10 hari. Abdullah ibnu Umar ra meriwayatkan: "Adalah Rasulullah saw beri'tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" (HR. Bukhari Muslim). Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau beri'tikaf selama 20 hari.
I’tikaf pada dasarnya hanya boleh dilaksanakan di masjid, adapun istilah mushalla (surau), jika surau tersebut digunakan untuk shalat lima waktu dan berfungsi sebagaimana masjid, dan bukan untuk yang lain, maka diperbolehkan untuk i’tikaf di mushalla tersebut. Jika seseorang ingin beri’tikaf hendaklah berniat terlebih dahulu, hal ini untuk membedakan antara ibadah dan kebiasaan, sebab jika ada orang kebiasaannya tinggal di masjid tapi kalau tidak ada niat i’tikaf maka tidak dianggap sebagai ibadah. Dan i’tikaf bisa batal disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Keluar dari masjid, 2. Berhubungan badan.
Apakah puasa ada pengaruhnya pada diri kita?
Allah swt Maha Kaya, tentu tidak menginginkan apapun dari hamba-Nya, Allah juga Maha Pengasih tentu tidak akan menyusahkan hamba-Nya, oleh karenya ibadah puasa yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya sebenarnya adalah untuk kebaikan hamba itu sendiri.
Oleh sebab itu agar dalam beribadah seorang muslim tidak merasa terbebani dan berat, tentu harus mengetahui alasan dan tujuan ibadah tersebut. Sebagaimana orang yang latihan berolah raga, bagi sementara orang olah raga adalah sesuatu yang membebani dan menyusahkan, namun bagi yang memahami pentingnya tubuh untuk selalu dilatih agar sehat dan bugar, maka orang akan melakukan aktivitas olahraga dengan penuh suka cita.
Oleh karena itu, jika seseorang menjalankan ibadah puasa dengan rasa berat dan tersiksa, itu masih menandakan pemahaman yang kurang utuh tentang manfaat dan tujuan ibadah puasa.           
Kesalahfahaman terhadap Fiqih
Ilmu fiqih disusun untuk memudahkan muslim mengamalkan ajaran agamanya, namun ternyata banyak kajian justru menyulitkan. Di atas kita sudah mengenal fiqih ringkas puasa Ramadhan, adakah penghayatan kita berhenti pada ranah fiqih belaka? Sehingga seseorang ketika beribadah yang dipegang hanyalah syarat, rukun, wajib dan sunnah dalam puasa saja.
Hal ini sering timbul dalam beberapa soal ketika membahas fiqih Ramadhan, pertanyaan yang seringkali muncul adalah pertanyaan-pertanyaan fisik, seperti bagaimana hukum menggunakan obat tetes mata, cairan penyegar mulut atau obat tetes telinga.
Pertanyaan seperti ini seringkali muncul dikarenakan memahami puasa hanya sebagai ibadah fisik, akan tetapi ruh dan jiwa puasanya ditiadakan. Sebab puasa sebenarnya bukanlah hanya puasa dhahir, namun hati, jiwa, emosi dan pikiran kita juga harus kita ajak berpuasa (dikontrol). Bahkan di dalam hadits-hadits disebutkan bahwa puasa bukan hanya ibadah untuk mencegah makan dan minum, namun lebih dari itu puasa adalah mengontrol anggota tubuh dari hal-hal yang merugikan diri kita dan orang lain, dan lebih jauh lagi mengontrol hati dan pikiran agar selalu bernilai positif.
Nabi bersabda "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta (pada waktu puasa) maka Allah tidak butuh terhadap puasa orang tersebut dari makan dan minum (HR. Bukhari).
Beliau juga besabda: "Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu beupuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata 'Sesungguhnya aku sedang puasa" (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika demikian halnya lantas apa arti puasa bagi orang yang tidak pernah mengontrol mata, mulut (lidah) dan telinganya pada waktu berpuasa.
Oleh karena itu Rasulullah saw menegur dengan keras orang yang berpuasa hanya meninggalkan makan dan minum, sabda beliau, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta kedunguan maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum (HR. Bukhari, Ahmad dan lainnya), dalam hadits lain dikatakan, “Betapa banyak orang puasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga" (HR. Ahmad, hadits hasan shahih).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar