Sabtu, 07 April 2012

zakat

Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.

Sejarah zakat

Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin.[1]. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.[2].
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar.[3]. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.

[sunting] Hukum zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun

[sunting] Jenis zakat

Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
  • Zakat fitrah
    Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
  • Zakat maal (harta)
    Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

[sunting] Yang berhak menerima

Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni:
  1. Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
  2. Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
  3. Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
  4. Mu'allaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
  5. Hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
  6. Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
  7. Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
  8. Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.

[sunting] Yang tidak berhak menerima zakat[4]

  • Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
  • Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
  • Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
  • Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
  • Orang kafir.

[sunting] Beberapa Faedah Zakat[5]

[sunting] Faedah Diniyah (segi agama)

  1. Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
  2. Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
  3. Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
  4. Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.

[sunting] Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)

  1. Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
  2. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
  3. Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
  4. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.

[sunting] Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)

  1. Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
  2. Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
  3. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
  4. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
  5. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.

[sunting] Hikmah Zakat

Hikmah dari zakat antara lain:
  1. Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
  2. Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
  3. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
  4. Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
  5. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
  6. Untuk pengembangan potensi ummat
  7. Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
  8. Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.

[sunting] Zakat dalam Al Qur'an

  • QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".)
  • QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.")
  • QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).

[sunting] Lembaga Amil Zakat Nasional

  1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
  2. Baitul Maal Hidayatullah
  3. Baitul Mal Ummat Islam Bank Negara Indonesia (BAMUIS BNI)
  4. Baitulmaal Muamalat (BMM)
  5. Baituzzakah Pertamina
  6. Bangun Sejahtera Mitra Umat (BSM Umat)
  7. Dompet Dhuafa Republika
  8. Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT)
  9. LAZ Yayasan Amanah Takaful
  10. LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia
  11. LAZIS Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
  12. LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI)
  13. Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh Nahdlatul Ulama (LAZISNU)
  14. Lembaga Amil Zakat Nasional Baitul Maal wat Tamwil (LAZNAS BMT)
  15. Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU)
  16. Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
  17. Pusat Zakat Umat (LAZ Persatuan Islam)
  18. Rumah Zakat Indonesia/ Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ)
  19. Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF)

SHOLAT SUNNAH RAWATIB DAN KEUTAMAANNYA

Sholat Sunnah Rowatib sepintas nampak seperti hal yang biasa menurut kita. Namun banyak dari kita yang tidak mengetahui bahwa Rosulullah tidak pernah meninggalkan sholat sunnah ini selain dalam perjalanan. Kalaupun tertinggal karena lupa, sakit atau tertidur, beliau mengqodo’nya. Dari sini dapat kita simpulkan betapa pentingnya kedudukan sholat sunnah rowatib ini disamping sholat-sholat fardlu.
Sholat Sunnah Rawatib sangat dianjurkan / ditekankan untuk dilakukan. Menurut pendapat beberapa ulama, orang yang terus menerus meninggalkannya maka ketakwaannya tidak bisa dipercaya dan ia pun berdosa. Alasannya, karena terus menerus meninggalkannya menunjukkan kadar keislamannya yang sangat rendah dan ketidakpeduliannya terhadap sholat sunnah rowatib. Adapun keistimewaan sholat sunnah rowatib adalah merupakan penambal kekurangan dan kesalahan seseorang ketika melaksanakan sholat fardlu. Karena manusia tidak terlepas dari kesalahan, maka ia membutuhkan sesuatu yang dapat menutupi kesalahannya tersebut.
Berdasarkan Hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a bahwa
Saya menghafal sepuluh rokaat dari Rosulullah: dua rokaat sebelum sholat zhuhur, dua rokaat setelah sholat zhuhur, dua rokaat setelah sholat maghrib di rumah beliau, dua rokaat setelah sholat isya’ di rumah beliau, dan dua rokaat sebelum subuh. Sebelum subuh ini adalah waktu di mana tidak seorang pun yang datang kepada Rosulullah SAW. Hafshah memberitahuku bahwa jika muazin mengumandangkan adzan dan fajar telah terbit, maka beliau sholat dua rokaat.
Berdasarkan hadist di atas dapat kita simpulkan bahwa sholat sunnah rowatib terdiri dari dua rokaat sebelum Dzuhur, dua rokaat setelah dzuhur, dua rokaat setelah maghrib, dua rokaat setelah isya’, dan dua rokaat sebelum subuh setelah terbit fajar.
Dalam Shohih Muslim diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata
Rosulullah sholat empat rokaat sebelum sholat dzuhur di rumahku. Kemudian beliau keluar dan sholat bersama orang-orang, lalu pulang ke rumahku dan melakukan sholat dua rokaat.
Berdasarkan hadist riwayat ini, beberapa ulama menyimpulkan bahwa jumlah rokaat sholat sunnah rowatib adalah 12 rokaat.
Keutamaan melaksanakan sholat sunnah rowatib di rumah :
  1. Untuk menghindari riya’ (sikap pamer), ujub (membanggakan diri sendiri), dan untuk tidak memperlihatkan amal baik kepada khalayak ramai.
  2. Lebih mudah untuk khusyuk dan ikhlas lantaran suasananya yang sepi (tidak banyak orang).
  3. menghidupkan rumah dengan dzikir kepada Allah dan sholat seperti sabda Rosulullah,
Jadikanlah sebagian sholat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan kalian menjadikannya sebagai kuburan
Yang paling utama dari sholat-sholat sunnah rowatib ini adalah sholat sunnah sebelum fajar. Hal ini berdasarkan riwayat dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata,
tidak ada sholat sunnah yang paling dijaga oleh Rosulullah selain dua rokaat fajar.
Rosulullah bersabda :
Dua rokaat sholat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya
Oleh karena itu Roslullah selalu melakukan sholat dua rokaat fajar dan sholat witir, baik ketika di rumah maupun ketika dalam perjalanan.
Sholat sunnah rowatib selain witir dan sholat sunnah fajar tidak disunnahkan dilakukan ketika dalam perjalanan. Hal ini didasarkan dari riwayat ketika Ibnu Umar r.a. ditanya tentang sholat rowatib Dzuhur ketika dalam perjalanan ia berkata,
Seandainya aku melakukan sholat rowatib, tentunya aku tidak mengqoshor sholat.
Ibnul Qayyim berkata,
Termasuk tuntunan Rosulullah dalam perjalanan adalah mengqoshor sholat fardlu. Tidak ada riwayat dari beliau yang menunjukkan bahwa beliau melakukan sholat sunnah sebelum dan setelah sholat qoshor tersebut, kecuali sholat witir dan sholat sunnah fajar
Adapun dalam pelaksanaannya Rosulullah mensunnahkan untuk memendekkan sholat sunnah fajar. Berdasarkan riwayat Shohih Bukhori dan Muslim Aisyah r.a. berkata :
Rosulullah selalu memendekkan sholat dua rokaat sebelum sholat subuh.
Dalam sholat subuh, pada rokaat pertama setelah membaca Al Fatihah Rosulullah melanjutkannya dengan membaca surat Al Kafirun dan pada rokaat kedua dengan Al Ikhlash. Pernah juga pada rokaat pertama Rosulullah membaca surat Al Baqoroh ayat 136 setelah membaca Al Fatihah dan Ali Imron ayat 64 pada rokaat kedua. Hal ini juga dilakukan beliau pada sholat dua rokaat setelah maghrib berdasarkan riwayat Al Baihaqqi dan Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud r.a. yang menjelaskan tentang seringnya Roslulullah membaca surat Al Kafiruun dan Al Ikhlas pada sholat dua rokaat  setelah sholat maghrib dan sebelum sholat subuh.
Jika dari sholat-sholat ini ada yang terlewat, disunnahkan untuk mengqodo’nya. Demikian juga jika terlewat sholat witir, maka disunnahkan untuk mengqodo’nya di siang hari. Rosulullah mengqodho’ dua rokaat sholat sunnah fajar dan sholat subuh ketika tertidur dan belum melaksanakannya. Beliau juga pernah mengqodho’ sholat sunnah qobliyah dzuhur setelah sholat ashar. Adapun disyariatkannya mengqodho’ sholat sunnah rowatib lainnya dapat dianalogikan sholat-sholat yang disebutkan di dalam nash hadist.
Rosulullah bersabda,
Barangsiapa tertidur atau lupa dan tidak sholat witir, hendaknya melakukannya ketika ia bangun atau ketika mengingatnya. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Ketika mengqodho’ sholat witir, hendaknya juga mengqodho’ sholat sunnah sebelumnya. Hal ini didasarkan pada riwayat Aisyah r.a. yang ia berkata,
Rosulullah jika tidak sholat malam karena tidur atau sakit, beliau sholat di siang hari dua belas rokaat.
Demikian tadi telah diuraikan tentang keutamaan serta segala sesuatu yang berkaitan dengan sholat sunnah rowatib. Mudah-mudah bermanfaat bagi saudara-saudariku yang mau menegakkannya.

Jumat, 06 April 2012

“BERSUMPAH”

KADANG, SESEORANG TERPAKSA MELAKUKAN SUMPAH karena diminta atau kondisinya yang memaksa. Ini dilakukan untuk meyakinkan pihak lain atau menunjukkan kebenaran dan kesungguhan tentang suatu permasalahan. Adapun sebabnya dan atas apapun bersumpah, seseorang Muslim hendaklah memperhatikan adab sebagai berikut:
a. Dengan Nama Allah
    Tidak boleh bersumpah dengan nama selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Sallallahu a’laihi wa sallam  bersabda, “Barangsiapa berrsumpah dengan selain Allah maka ia telah menyekutukan Allah.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Hakim, dan At-Tirmidzi). Beliau juga bersabda, “Barangsiapa bersumpah atas nama amanah (kejujuran) maka ia bukan dari kami.” (Riwayat Abu Dawud, Imam Ahmad, Hakim, dan Ibnu Hiban).
b. Tidak Bersumpah Berkali-kali
    Tidak boleh memperbanyak sumpah atau mengulang-ulangnya, walaupun telah jelas kesalahannya. Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang dari kalian mengulang-ulang sumpahnya (janjinya), maka sesungguhnya dia akan lebih berdosa di sisi Allah daripada dia membayar denda (kaffarat) yang telah diwajibkan oleh Allah karena melanggar sumpahnya.” (Riwayat Bukhari)
c. Bila Lalai Bersumpah Dengan Selain Allah, Hendaklah Mengucap ‘Laa Ilaaha Illallaah’
    Rasulullah telah menerangkan bahwa ucapan Laa ilaaha illallaah menjadi kaffarat atas kesalahan tersebut. Beliau bersabda, “Barangsiapa bersumpah dan dalam sumpahnya telanjur berkata dengan al-Laati dan al-‘Uzaa (keduanya nama tuhan orang-orang kafir zaman dahulu) maka hendaklah dia segera mengucap ‘Laa ilaaha illallaah’.” Kaffarat ini wajib hukumnya, namun orang sering lupa melakukannya.
d. Jujur
    Rasulullah bersabda, “Bersumpahlah dengan nama Allah dan tepatilah, dan jujurlah karena sungguh Allah menyukai orang yang bersumpah dengan nama-Nya.” Beliau juga bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan sumpah abadi dan ia berbohong, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (riwayat Abu Dawud).
e. Penerima Sumpah Hendaknya Percaya Dan Ridha Terhadap Sumpah Dengan Nama Allah
    Sesungguhnya yang menerima sumpah orang lain hendaklah percaya dan rela kepada orang yang bersumpah dengan nama Allah tersebut, sebagai tanda hormat kepada nama Allah. Rasulullah telah bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah hendaklah ia jujur, dan hendaklah orang yang menerima sumpah tersebut rela dengannya karena barangsiapa tidak rela dengannya maka orang tersebut bukan dari allah (tidak diakui oleh Allah).” (Riwayat Ibnu Majah).
f. Menepati Sumpah
    Orang yang bersumpah hendaklah menepati sumpahnya. Jika bersumpah hendak melakukan sesuatu maka ia melakukannya, dan jika bersumpah tidak akan melakukan sesuatu maka ia tidak melakukannya, selama hal-hal tersebut tidak bersangkutan dengan dosa. Allah berfirman, “… Dan jagalah sumpahmu …” (al-Maaidah : 89)
g. Mengucap ‘Insya Allah’
    Sabda Rasulullah, “Barangsiapa bersumpah lalu ia mengucapkan ‘Insya Allah’, maka jika ia berkehendak lakukanlah dan jika tidak melakukan maka ia tidak dianggap mengingkari janjinya.” (Riwayat An-Nasa’I dan Ibnu Majah)
h. Tidak Bersumpah Agar Dagangan Menjadi Laris
    Rasulullah bersabda, “ada tiga orang yang tidak dilihat Allah pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka dari dosa dan bagi mereka adalah siksa yang pedih, yaitu orang lanjut usia yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangan, ia tidak membeli kecuali bersummpah dan ia tidak mejual kecuali bersumpah.” (Riwayat Baihaqi dan Al-Jami’). Orang melanggar sumpah hendaknya membayar kaffarat. Sabda Nabi, “Bukan aku yang telah memberi kepada kamu semua, tetapi Allah yang telah memberi kepada kamu. Sesungguhnya (demi Allah dan insya Allah), bahwa seandainya aku telah telanjur bersumpah lalu aku tahu ada perkara yang lebih baik daripada sumpahku itu, maka aku akan membayar kaffarat akibat dari sumpahku tadi dan aku akan mengerjakan perkara yang lebih baik itu.” (Riwayat Bukhari-Muslim dari abu Musa).
    Yang dimaksud kaffarat seperti firman Allah, “…ialah memberi makan sepuluh orang miskin setara dengan makanan harian keluarganya, atau memberi pakainan mereka…”

PUASA




Landasan-landasan hukum puasa:
  1. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS.Al-Baqarah: 183). 
  2. “Maka barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu (Ramadhan), hendaklah ia berpuasa” (QS. Al Baqarah:185)
  3. Dari Abu Abdul Rahman Abdullah ibnu Umar Ibn al-Khatthab ra berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). 
 Bagaimana memulai puasa Ramadhan?
Puasa Ramadhan dapat dimulai dengan beberapa hal; 1. Jika bulan Sya’ban sudah sempurna 30 hari, 2. Jika Hilal (anak bulan) tanggal 1 Ramadhan sudah terlihat, 3. Informasi yang didapat dari orang (lembaga) yang terpercaya, 4. Dengan Ijtihad, mengerahkan kemampuan sendiri jika semua hal di atas tidak mampu didapatkan (meskipun di era kecanggihan informasi seperti sekarang ini, hampir tidak ada peluang untuk mencari-cari sendiri permulaan Ramadhan).

Apa syarat seseorang bisa melakukan puasa Ramadhan?
Sebelum berpuasa harus diartikan bahwa orang tersebut memenuhi syarat berikut: Beragama Islam, berakal sehat dan mampu membedakan yang baik dengan yang tidak baik, bagi wanita harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas.
Apa syarat wajib berpuasa bagi seorang muslim yang sehat jasmani dan rohani?
Seorang Muslim diwajibkan berpuasa apabila sudah baligh (memasuki usia 15 tahun, atau jika ada tanda-tanda baligh yang lain, seperti menstruasi atau mimpi basah). Sebelum usia baligh puasa belum diwajibkan, namun orang tua seyogyanya melatih putra-putrinya berpuasa semenjak dini.
Apa rukun-rukun puasa?
Rukun puasa ada 2, yaitu:
  1. Berniat untuk puasa pada malamnya,
  2. Menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa (makan, minum dan berhubungan badan atau sejenisnya), mulai Shubuh sehingga Maghrib.
Apa yang membatalkan puasa?
Hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah:
  1. Makan dan minum dan yang sejenisnya (termasuk infus untuk memasukkan zat makanan), 
  2. Bersetubuh, 
  3. Keluarnya air mani dengan sebab selain bersetubuh kecuali jika terjadi saat mimpi, 
  4. Muntah dengan disengaja, 
  5. Keluar darah haidh atau nifas (darah bersalin) atau 
  6. Hilang ingatan (gila).
Siapa yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan apa konsekuensinya?
Orang-orang yang mendapatkan keringanan meninggalkan puasa adalah sebagai berikut
  1. Orang yang sakit yang jika berpuasa membahayakan kesehatannya, konsekuensinya, wajib mengganti puasanya jika sudah sembuh, tapi jika penyakitnya tidak mungkin ada harapan sembuh maka cukup membayar fidyah, yaitu dengan bersedekah kepada fakir miskin sebesar ¾ liter tiap hari sesuai dengan hari puasa yang ditinggalkan.
  2. Orang yang dalam perjalanan jauh (kurang lebih 84 km setara dengan perjalanan kaki sehari semalam) diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan jika tidak berpuasa konsekuensinya wajib mengqadha (mengganti pada hari yang lain).
  3. Orang yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, orang yang fisiknya memang lemah atau orang yang mengidap penyakit yang menghalangi berpuasa dan menurut analisa dokter ahli penyakit tersebut tidak ada harapan disembuhjkan, konsekuensinya wajib membayar fidyah.
  4. Orang yang mengandung atau menyusui bayinya, ada beberapa kondisi: Pertama, jika memang kondisinya kuat maka wajib berpuasa. Kedua, kondisinya lemah dan akan membahayakan dirinya jika berpuasa, maka tidak boleh berpuasa. Ketiga, jika dirinya mampu berpuasa, namun jika ia berpuasa akan membahayakan janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka syari’ah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa, sebab janin dan bayi adalah bagian tak terpisahkan dari ibunya. Para ulama dalam menentukan konsekuensi kondisi kedua dan ketiga mengambil jalan qiyas (analogi) dengan orang yang sakit, sebab orang yang sedang mengandung dan orang yang sedang menyusui mirip dengan kondisi orang yang sakit, maka konsekuensinya wajib mengqadha, dan pemilihan hukum ini disetujui oleh jumhur (mayoritas) ulama, sebab hukum asalnya semua orang diwajibkan berpuasa, adapun keringanan untuk tidak berpuasa sama sekali hanya diberikan untuk orang yang sudah lanjut usia dan orang yang sakit parah yang tidak mungkin sembuh dan orang yang dalam perjalanan jauh. Adapun kondisi ketiga, konsekuensinya adalah wajib mengqadha, dan juga ada ulama’ yang menambahkan dengan fidyah dengan dasar hukum di dalam riwayat Abu Dawud dan juga dalil qiyas syabah.
Dari sekian banyak analisa ulama’, mayoritas menyamakan kondisi wanita hamil dan menyusui dengan kondisi orang yang sakit, dan metode ini dinamakan qiyas (analogi), dan di dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 184 disebutkan: “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
 Namun demikian ada juga atsar dari Abdullah ibnu Umar dan Abdullah Ibnu Abbas ra yang menetapkan bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika tidak mampu berpuasa cukup membayar fidyah saja, dan juga atas dasar qiyas kondisi wanita hamil dan menyusui dengan kondisi orang yang tidak kuat puasa seperti orang yang lanjut usia, meskipun demikian penetepan hukum ini tidak banyak diiukuti oleh para ulama sebab banyaknya dalil-dalil lain dan juga dalil qiyas yang lebih melihat bahwa kondisi kehamilan dan menyusui hanyalah kondisi temporer saja dalam kehidupan kaum wanita, sehingga lebih mirip dengan kondisi orang yang sakit.
Mengenai meninggalkan puasa karena udzur kehamilan dan menyusui tentu saja yang mengetahui dengan baik antara tingkat bahaya dan tidaknya puasa terhadap ibu yang mengandung dan menyusui adalah dokter spesialis kandungan dan dokter anak, jadi sebelum memutuskan hukum berpuasa atau tidak, tentu konsultasi kepada pakar dan dokter ahli adalah keniscayaan.
Demikian halnya dengan pemilihan konsukuensi hukum bagi wanita hamil dan menyusui, antara mengqadha saja, mengqadha dan membayar fidyah, atau membayar fidyah saja, pemilihan hukum ini tidak boleh didasarkan pada rasa suka dan tidak suka, yang mudah dan tidak mudah; sebab jika demikian akan termasuk menjadikan hawa nafsu sebagai dasar hukum. Menghadapi permasalahan agama sama dengan seseorang yang menghadapi masalah kesehatan, meskipun obat-obatan sudah dijual bebas di pasaran, tidak boleh kemudian orang tersebut memilih-milih obat sendiri dan meramu sendiri tanpa ada resep dokter ahli. Demikian juga dengan fatwa agama, bagi yang merasa belum mampu menggali sendiri dalil agama dari sumbernya, akan lebih realistis dan lebih bertanggung jawab jika konsultasi dan diskusi terlebih dahulu dengan ahli dan pakar dibidangnya.
Bagi yang akan mengqadha, maka qadha puasa wajib disegerakan, sebab tidak ada yang mengetahui batas akhir usia seseorang, meskipun begitu jangka waktu untuk mengqadha masih terbuka sehingga Ramadhan yang akan datang.
Bagaimana jika ada yang puasanya batal?
Jika batal karena makan dan minum, maka diwajibkan mengqadha (mengganti) puasa pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Akan tetapi jika batalnya dikarenakan berhubungan badan, maka harus membayar kaffarat (sangsi/denda), dengan berpuasa 2 bulan berturut-turut dan jika tidak mampu berpuasa maka wajib memberikan sedekah kepada 60 fakir miskin.
Bagaimana jika seseorang pada malam harinya berhubungan atau mimpi basah dan sampai Shubuh belum mandi janabat, bagaimana puasanya?
Seyogyanya orang tersebut segera mandi sebelum Shubuh, agar dapat menunaikan ibadah shalat Shubuh berjamaah, namun jika sampai setelah Shubuh masih belum mandi maka puasanya tetap sah.
Apa yang disunnahkan dalam berpuasa?
Hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa adalah:
  1. Makan Sahur menjelang Shubuh, adapun pengumuman Imsak hanyalah peringatan keras agar berhati-hati jangan sampai masih makan sahur padahal Shubuh sudah masuk, 
  2. Segera berbuka jika matahari sudah tenggelam (Maghrib), 
  3. Berbuka dengan ruthab (kurma segar), kurma biasa dan kalau tidak ada maka berbuka puasa dimulai dengan minum air, 
  4. Berdo’a sewaktu berbuka, sebab do’a pada waktu berbuka termasuk do’a yang mustajab, 
  5. Memberi makan untuk berbuka puasa bagi orang yang sedang berpuasa, 
  6. Memperbanyak sedekah, 
  7. Memperbanyak membaca al-Qur’an, 
  8. Shalat Tarawih, 
  9. I’tikaf.
Selain puasa Ramadhan, adakah puasa lain yang wajib?
Puasa yang diwajibkan dalam Islam hanyalah puasa Ramadhan, kecuali jika seseorang bernadzar untuk berpuasa, maka puasa memenuhi nadzar tersebut menjadi wajib. Di samping itu juga ada puasa-puasa lain yang wajib dilakukan jika seseorang melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu, misalnya melanggar sumpah, membatalkan nadzar, dan lain-lain.
Apa saja puasa-puasa sunnah selain Ramadhan?
Puasa-puasa sunnah selain Ramadhan adalah sebagai berikut:
  1. Puasa 6 hari di bulan Syawwal, 
  2. Puasa hari ‘Arafah (tanggal 9 bulan Dzul Hijjah), kecuali bagi orang yang sedang haji, maka puasa ‘Arafah tidak disunnahkan, 
  3. Puasa ‘Asyura (Tanggal 10 Bulan Muharram), 
  4. Puasa Tasu’a (Tanggal 9 bulan Muharram), 
  5. Puasa Hari Senin dan Kamis, 
  6. Memperbanyak berpuasa pada bulan Sya’ban, 
  7. Puasa tengah bulan Hijriyah (tanggal 13, 14 dan 15).

Shalat Tarawih
Apa perbedaan Qiyamullail, shalat Tahajjud dan Shalat Tarawih?
“Lail” artinya malam, dalam syari’at Islam yang dinamakan malam adalah apabila matahari sudah tenggelam (Maghrib) sehingga adzan Shubuh. Dan istilah Qiyamullail adalah istilah yang digunakan untuk semua shalat sunnah yang dilakukan setelah Shalat Maghrib sehingga Shubuh, semua shalat-shalat sunnah yang dilakukan pada waktu malam, baik shalat witir, shalat tahajjud, shalat hajat, shalat taubat, shalat tarawih dan shalat-shalat sunnah lainnya dinamakan Qiyamullail.
Sedang Tahajjud berasal dari kata “Hujud” atau “Hajdah” yang berarti “tidur” atau “bangun dari tidur”, kata ini dalam bahasa Arab termsuk kata yang mempunyai dua arti yang berlawanan, oleh karenanya shalat Tahajjud adalah shalat malam yang dilakukan pada waktu orang-orang sedang lelap tidur, dan juga meliputi shalat yang dilakukan pada waktu seseorang bangun dari tidur, shalat Tahajjud dapat berarti kedua-duanya. Dari sini maka untuk shalat Tahajjud ada yang mensyaratkan tidur terlebih dahulu dan ada pula yang memahami shalat tahajjud sudah memenuhi syarat jika orang-orang sudah waktunya tidur.
Sedangkan shalat Tarawih adalah Qiyamullail yang khusus pada bulan Ramadhan, dan istilah ini muncul disebabkan orang-orang pada masa dulu mendirikan qiyamullail pada malam bulan Ramadhan dengan sangat lama, sehingga setiap jeda dengan salam mereka beristirahat terlebih dahulu kemudian setelah segar kembali melakukan shalat lagi. Karena shalat ini selalu diselingi dengan istirahat yang agak lama, maka disebutlah dengan shalat “Tarawih” yang artinya istirahat.
Berapakah bilangan rakaat shalat Tarawih?
Masalah ini selalu menjadi bahan pertanyaan setiap bulan Ramadahn tiba. Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama sebenarnya tidak begitu mempermasalahkan tentang jumlah rakaat shalat Tarawih.
Oleh karenanya seharusnya umat Islam juga bersikap lapang dada mengamati beragamnya jumlah rakaat shalat tarawih, yang seharusnya diprioritaskan adalah saling menasihati antar sesama muslim agar dapat menghayati bahwa bulan Ramadhan adalah bulan untuk taubat, bulan untuk istighfar, bulan untuk menjalin dan mempererat persaudaraan dan memperbanyak ketaatan. Dan Ramadhan bukanlah bulan untuk mempertajam pertikaian dan memperbanyak perdebatan dan permusuhan antar sesama muslim.
Sebelum membahas tentang berapa jumlah rakaat shalat tarawih, lebih baik menyimak terlebih dahulu riwayat-riwayat hadits tentang shalat malam di bulan Ramadhan.
Di dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan oleh ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak pernah menambah baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan dari 11 dan di riwayat lain disebutkan 13 rakaat, ‘Aisyah menekankan, “Jangan kamu tanya tentang bagus dan lamanya rakaat-rakaat tersebut. Dengan mendasarkan pada hadits ini, maka ada orang yang shalat tarawih dengan 8 rakaat.
Dalam riwayat lain, sebagaimana disebutkan oleh Imam Malik di dalam kitab al-Muwattha’, dari hadits as-Saib bin Yazid yang menerangkan bahwa orang-orang pada zaman Umar bin al-Khattab menunaikan shalat malam sebanyak 20 rakaat, mereka membaca surat-surat al-mi’in (surat-surat al-Qur’an yang jumlah ayatnya seratusan), dan pada zaman Utsman bahkan orang-orang bertahan dengan tongkatnya karena lamanya berdiri”. Hadits ini sanadnya shahih, demikian Imam an-Nawawi menyatakan di dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab. Dengan mendasarkan pada hadits ini, maka ada orang yang shalat tarawih dengan 20 rakaat.
Namun, sekali lagi perlu ditekankan bahwa pelaksanaan shalat malam, baik yang shalat 8 rakaat maupun yang 20, ada sesuatu yang diprioritaskan dalam keduanya, yaitu shalat yang bagus dan lama. Sebagaimana penekanan di dalam hadits ‘Aisyah dan keterangan di dalam hadits as-Saib bin Yazid yang tersebut di atas. Sehingga jangan sampai seseorang terpancing dengan perdebatan jumlah, namun melupakan kualitas shalatnya.
Bahkan, ada juga yang shalat malam di bulan Ramadhan lebih dari jumlah di atas, mereka mendasarkannya pada dalil tentang sunnahnya memperbanyak amal ibadah pada bulan Ramadhan. Sebagaimana pesan Nabi saw kepada Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami yang meminta kepada Nabi saw agar dapat berteman kelak di surga, maka Nabi saw memberikan saran kepadanya: “Tolonglah aku (agar permintaanmu terkabul) dengan kamu perbanyak sujud (shalat), sebab tidaklah kamu sujud satu kali saja melainkan Allah akan mengangkat derajatmu, dan menghapuskan kesalahanmu” (HR. Muslim).
Juga ada dalil umum, bahwa Nabi saw menyatakan, “Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat, jika salah satu dari kamu semua takut Shubuh datang, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir dari shalat yang telah kamu dirikan” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan mendasarkan riwayat-riwayat yang tidak membatasi jumlah ini, maka sejarah mencatat bahwa di masjid Nabawi pada zaman Imam Malik dan Imam Syafi’i, orang-orang shalat tarawih sebanyak 36 rakaat.
Oleh karena itu tidak ada perlunya saling menyalahkan dalam hal jumlah rakaat shalat tarawih, justru yang perlu ditekankan adalah kualitas shalat tarawihnya. Sudahkah seseorang mampu shalat dengan khusyu’ dengan menjalankan shalat yang sebagus mungkin dan dalam waktu yang lama?
Kalau orang sudah shalat witir bolehkah shalat Qiyamullail lagi?
Sebagian masyarakat ada yang salah mendefinisikan shalat witir, shalat witir dipahami sebagai shalat penutup yang tidak boleh ada lagi shalat sunnah setelah witir sehingga Shubuh. Sebenarnya shalat witir bukanlah shalat penutup, akan tetapi memang ada seruan dari Nabi saw yang menganjurkan agar seyogyanya menjadikan shalat witir sebagai shalat yang paling akhir di malam hari (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata “witir” artinya ganjil, dan shalat witir artinya shalat sunnah yang dilakukan mulai setelah shalat ‘Isya’ sehingga menjelang Shubuh dengan jumlah bilangan rakaat ganjil. Waktu pelaksanannya yang paling afdhal adalah di akhir malam setelah selesai melakukan qiyamullail.
Bagi yang sudah melakukan shalat witir, lalu ingin mengerjakan shalat malam lagi, maka ada hadits yang menyatakan, “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam”. (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Turmudzi). Jadi Shalat witir hanya boleh dilakukan sekali saja dalam satu malam. Oleh karenanya bagi yang yakin mampu untuk menjalankan witir di akhir malam tentu ini lebih afdhal, akan tetapi jika di awal malamnya sudah shalat witir dan di malam hari ingin shalat lagi, maka shalat malam, qiyamullail dan tahajjud tetap berjalan seperti biasa, hanya saja tidak boleh diakhiri dengan shalat witir, sebab witir sudah dilakukan di awal malam.
Bagaimana agar seseorang dapat mendapatkan Lailatul Qadar?
Allah swt merahasiakan ketentuan waktu Lailatul Qadar, satu malam yang paling utama dalam satu tahun, yang setara dengan seribu bulan. Perahasiaan tersebut tentu ada hikmah yang besar, sehingga setiap muslim diharapkan akan senantiasa bersungguh-sungguh beribadah dari semenjak awal Ramadhan sampai akhir Ramadhan. Namun demikian, dari hadits-hadits Nabi saw didapati bahwa jika seseorang berkeinginan untuk mendapatkan Lailatul Qadar maka hendaklah mencarinya di sepuluh malam terakhir, dan ada ketentuan lebih khusus lagi yaitu pada malam-malam ganjil (malam 21, 23, 25, 27 dan 29). Adapun do’a yang dibaca jika mendapatkan malam tersebut adalah seperti yang ditanyakan oleh ‘Aisyah, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui waktu lailatul Qadar, apakah yang mesti aku ucapkan pada saat itu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu’anni (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha pemberi ampunan yang mulia, suka memberi pengampunan, maka ampunilah diriku ini)”. (HR. Turmudzi).
Apa yang dimaksud dengan I’tikaf?
I’tikaf dalam bahasa artinya “menahan” atau “melarang”, adapun dalam istilah syari’ah I’tikaf adalah menahan diri untuk diam dan tinggal di masjid untuk beribadah, dan bertahan untuk tidak keluar dari masjid kecuali untuk urusan yang darurat. Rasulullah saw sendiri senantiasa beri'tikaf pada akhir bulan Ramadhan selama 10 hari. Abdullah ibnu Umar ra meriwayatkan: "Adalah Rasulullah saw beri'tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" (HR. Bukhari Muslim). Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau beri'tikaf selama 20 hari.
I’tikaf pada dasarnya hanya boleh dilaksanakan di masjid, adapun istilah mushalla (surau), jika surau tersebut digunakan untuk shalat lima waktu dan berfungsi sebagaimana masjid, dan bukan untuk yang lain, maka diperbolehkan untuk i’tikaf di mushalla tersebut. Jika seseorang ingin beri’tikaf hendaklah berniat terlebih dahulu, hal ini untuk membedakan antara ibadah dan kebiasaan, sebab jika ada orang kebiasaannya tinggal di masjid tapi kalau tidak ada niat i’tikaf maka tidak dianggap sebagai ibadah. Dan i’tikaf bisa batal disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Keluar dari masjid, 2. Berhubungan badan.
Apakah puasa ada pengaruhnya pada diri kita?
Allah swt Maha Kaya, tentu tidak menginginkan apapun dari hamba-Nya, Allah juga Maha Pengasih tentu tidak akan menyusahkan hamba-Nya, oleh karenya ibadah puasa yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya sebenarnya adalah untuk kebaikan hamba itu sendiri.
Oleh sebab itu agar dalam beribadah seorang muslim tidak merasa terbebani dan berat, tentu harus mengetahui alasan dan tujuan ibadah tersebut. Sebagaimana orang yang latihan berolah raga, bagi sementara orang olah raga adalah sesuatu yang membebani dan menyusahkan, namun bagi yang memahami pentingnya tubuh untuk selalu dilatih agar sehat dan bugar, maka orang akan melakukan aktivitas olahraga dengan penuh suka cita.
Oleh karena itu, jika seseorang menjalankan ibadah puasa dengan rasa berat dan tersiksa, itu masih menandakan pemahaman yang kurang utuh tentang manfaat dan tujuan ibadah puasa.           
Kesalahfahaman terhadap Fiqih
Ilmu fiqih disusun untuk memudahkan muslim mengamalkan ajaran agamanya, namun ternyata banyak kajian justru menyulitkan. Di atas kita sudah mengenal fiqih ringkas puasa Ramadhan, adakah penghayatan kita berhenti pada ranah fiqih belaka? Sehingga seseorang ketika beribadah yang dipegang hanyalah syarat, rukun, wajib dan sunnah dalam puasa saja.
Hal ini sering timbul dalam beberapa soal ketika membahas fiqih Ramadhan, pertanyaan yang seringkali muncul adalah pertanyaan-pertanyaan fisik, seperti bagaimana hukum menggunakan obat tetes mata, cairan penyegar mulut atau obat tetes telinga.
Pertanyaan seperti ini seringkali muncul dikarenakan memahami puasa hanya sebagai ibadah fisik, akan tetapi ruh dan jiwa puasanya ditiadakan. Sebab puasa sebenarnya bukanlah hanya puasa dhahir, namun hati, jiwa, emosi dan pikiran kita juga harus kita ajak berpuasa (dikontrol). Bahkan di dalam hadits-hadits disebutkan bahwa puasa bukan hanya ibadah untuk mencegah makan dan minum, namun lebih dari itu puasa adalah mengontrol anggota tubuh dari hal-hal yang merugikan diri kita dan orang lain, dan lebih jauh lagi mengontrol hati dan pikiran agar selalu bernilai positif.
Nabi bersabda "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta (pada waktu puasa) maka Allah tidak butuh terhadap puasa orang tersebut dari makan dan minum (HR. Bukhari).
Beliau juga besabda: "Puasa adalah perisai, bila suatu hari seseorang dari kamu beupuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata 'Sesungguhnya aku sedang puasa" (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika demikian halnya lantas apa arti puasa bagi orang yang tidak pernah mengontrol mata, mulut (lidah) dan telinganya pada waktu berpuasa.
Oleh karena itu Rasulullah saw menegur dengan keras orang yang berpuasa hanya meninggalkan makan dan minum, sabda beliau, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta kedunguan maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum (HR. Bukhari, Ahmad dan lainnya), dalam hadits lain dikatakan, “Betapa banyak orang puasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga" (HR. Ahmad, hadits hasan shahih).

Kamis, 05 April 2012

Haji

Haji (Bahasa Arab: حج‎, Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.

Definisi

Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.

Latar belakang ibadah haji

Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. [2] Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.

Jenis ibadah haji

Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.

Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Diantara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar.[3][1]

Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.[1]

* Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.
* Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah didalam bulan-bulan serta didalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
* Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.

Kegiatan ibadah haji

Berikut adalah kegiatan utama dalam ibadah haji berdasarkan urutan waktu:

* Sebelum 8 Dzulhijjah, umat Islam dari seluruh dunia mulai berbondong untuk melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
* 8 Dzulhijjah, jamaah haji bermalam di Mina. Pada pagi 8 Dzulhijjah, semua umat Islam memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah. Jamaah kemudian berangkat menuju Mina, sehingga malam harinya semua jamaah haji harus bermalam di Mina.
* 9 Dzulhijjah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam Muzdalifah.
* 10 Dzulhijjah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, jamaah bisa Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).
* 11 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
* 12 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
* Sebelum pulang ke negara masing-masing, jamaah melaksanakan Thawaf Wada' (thawaf perpisahan).

Makkah Al Mukaromah

Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Ka'bah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jamaah diwajibkan melaksanakan niat dan thawaf haji.

Arafah

Kota di sebelah timur Makkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji, yiatu tempat wukuf dilaksanakan, yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah tiap tahunnya. Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jamaah haji dari seluruh dunia. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.

Muzdalifah

Tempat di dekat Mina dan Arafah, dikenal sebagai tempat jamaah haji melakukan Mabit (Bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

Mina

Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Dimasing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jamaah juga diwajibkan untuk menginap satu malam.

Madinah

Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad SAW dimakamkan di Masjid Nabawi. Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jamaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung ke kota yang letaknya kurang lebih 330 km (450 km melalui transportasi darat) utara Makkah ini untuk berziarah dan melaksanakan salat di masjidnya Nabi. Lihat foto-foto keadaan dan kegiatan dalam masjid ini.

Tempat bersejarah

Berkiut ini adalah tempat-tempat bersejarah, yang meskipun bukan rukun haji, namum biasa dikunjungi oleh para jemaah haji atau peziarah lainnya[4]:

Jabal Nur dan Gua Hira

Jabal Nur terletak kurang lebih 6 km di sebelah utara Masjidil Haram. Di puncaknya terdapat sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Di gua inilah Nabi Muhammad saw menerima wahyu yang pertama, yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5.

Jabal Tsur

Jabal Tsur terletak kurang lebih 6 km di sebelah selatan Masjidil Haram. Untuk mencapai Gua Tsur ini memerlukan perjalanan mendaki selama 1.5 jam. Di gunung inilah Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar As-Siddiq bersembunyi dari kepungan orang Quraisy ketika hendak hijrah ke Madinah.

Jabal Rahmah

Yaitu tempat bertemunya Nabi Adam as dan Hawa setelah keduanya terpisah saat turun dari surga. Peristiwa pentingnya adalah tempat turunnya wahyu yang terakhir pada Nabi Muhammad saw, yaitu surat Al-Maidah ayat 3.

Jabal Uhud

Letaknya kurang lebih 5 km dari pusat kota Madinah. Di bukit inilah terjadi perang dahsyat antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin Mekah. Dalam pertempuran tersebut gugur 70 orang syuhada di antaranya Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad saw. Kecintaan Rasulullah saw pada para syuhada Uhud, membuat beliau selalu menziarahinya hampir setiap tahun. Untuk itu, Jabal Uhud menjadi salah satu tempat penting untuk diziarahi.

Makam Baqi'

Baqi' adalah tanah kuburan untuk penduduk sejak zaman jahiliyah sampai sekarang. Jamaah haji yang meninggal di Madinah dimakamkan di Baqi', letaknya di sebelah timur dari Masjid Nabawi. Di sinilah makam Utsman bin Affan ra, para istri Nabi, putra dan putrinya, dan para sahabat dimakamkan. Ada banyak perbedaan makam seperti di tanah suci ini dengan makam yang ada di Indonesia, terutama dalam hal peletakan batu nisan [5]

Masjid Qiblatain

Pada masa permulaan Islam, kaum muslimin melakukan shalat dengan menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina. Pada tahun ke-2 H bulan Rajab pada saat Nabi Muhammad saw melakukan shalat Zuhur di masjid ini, tiba-tiba turun wahyu surat Al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan agar kiblat shalat diubah ke arah Kabah Masjidil Haram, Mekah. Dengan terjadinya peristiwa tersebut maka akhirnya masjid ini diberi nama Masjid Qiblatain yang berarti masjid berkiblat dua.